Merekam Jejak Fariz “Aceng” Alwan, Dari Belajar Main Gitar Sampai Punya Visi Populerkan Tradisi
Berbeda dari malam-malam biasa, malam itu Fariz Alwan atau yang lebih akrab dipanggil dengan nama Aceng membuka salah satu koleksi alat musiknya. Sebuah instrumen tiup mirip suling yang unik bernama Hulusi. Alat musik ini berasal dari Tiongkok, dan merupakan salah satu alat musik tradisional peradaban Cina. Dari situ aja, udah keliatan banget kalau sebagai seorang musisi, Aceng ini sangat mengapresiasi budaya musik tradisional.
Perkenalan Aceng dengan musik sebagai ekspresi terjadi ketika dia masih duduk di bangku SMP. Saat itu, Aceng mengambil sebuah gitar dan mencoba belajar memainkannya. Dari sana, timbul kecintaan terhadap seni musik yang dia bawa sampai umur dewasa. Bahkan sampai kuliahnya aja di salah satu perguruan tinggi seni di Bandung. Bisa dibilang, lebih dari setengah hidupnya udah didedikasikan ke musik, bro!
Perjalanan yang dimulai dengan memetik senar ini berlanjut ke instrumen-instrumen lain, sampai Aceng menemukan kenyamanan di alat musik tiup. Sejak itu, Aceng nggak pernah lepas dari alat musik tiup, termasuk Hulusi yang dia dapat dari kawannya itu. Sama juga kayak Hulusi itu, Aceng suka mengeksplor alat-alat musik tradisional dari seluruh dunia. Katanya, alat musik tradisional lebih punya konteks yang pas dalam mengekspresikan kehidupan masyarakat Indonesia. Melalui ketertarikan itu, Aceng jadi terlibat di banyak project-project musik dengan instrumen tradisional.
Dari sekian banyak project yang pernah dia jalanin, ada satu yang luar biasa unik banget, bro, yaitu Sound of Borobudur. Dalam project ini, Aceng terlibat nggak hanya dalam memainkan alat musik, tapi juga menginterpretasi sejarah yang tercatat pada relief candi Borobudur. Jadi, mayoritas alat musik yang dipakai Sound of Borobudur adalah hasil interpretasi bentuk-bentuk alat musik yang ada di relief candi. Hasilnya keren banget, bro! Alat musiknya nggak cuma unik, tapi juga punya nilai sejarah dan kebudayaan yang luar biasa. Bahkan, bisa jadi alat musik yang mereka pakai dan cara memainkannya itu one of a kind karena teknik-tekniknya udah hilang ditelan masa.
Sisi history dan makna yang tersimpan di dalamnya itu juga jadi alasan Aceng suka musik tradisional. Menurutnya, musik yang kayak gitu lebih punya cerita, yang nggak bisa disampaikan dengan syair dan kata-kata. Masalahnya adalah, musik kayak yang dibuat sama Aceng itu niche banget, jadi susah buat bisa diterima khalayak luas dan jadi populer.
Bicara soal populer, kita nggak pernah bisa lepas dari industri musik populer, Superfriends. Musik Indonesia sekarang ini banyak diisi sama genre yang sering disebut “Indie Folk”. Itu loh, musik yang sering lo dengar di coffee shop. Musik yang Aceng buat sendiri bisa dibilang “Indie” karena dia independen, nggak bergerak di bawah sebuah label. Kalau dibilang “Folk”, musik tradisional yang dimainkan itu udah musik rakyat banget. Tapi, entah apa penyebabnya, musik tradisional yang dibawakan Aceng ini masih belum bisa jadi populer.
“Bisa jadi karena emang selera pasarnya aja, atau ya emang musik yang lebih bisa diterima anak muda itu yang lebih modern, lepas dari hal-hal tradisional.” Begitu katanya. Musik tradisional sendiri menurut Aceng lebih cocok untuk “dijual” di luar negeri, dengan kemasan yang berbeda dari apa yang biasa disaksikan masyarakat sana. Biar ada kesan eksotis gitu, bro. Meskipun begitu, Aceng yakin betul kalau alat musik dan musikalisasi tradisional Indonesia bisa dikemas secara modern, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional Indonesia. Dengan begitu, musik tradisional bisa jadi menarik, bahkan lebih “mahal” dari musik modern yang populer sekarang. Sama kayak Hulusi yang dia tiup tadi, kesan unik dan eksotis alat musik tradisional jadi faktor tersendiri yang mampu memicu apresiasi atas suara yang dihasilkan ketika Aceng mulai memainkan.
Pandangan itu juga berpengaruh ke project terbaru yang lagi dijalanin Aceng, namanya Syarikat Idola Remaja, atau disingkat SIR. Di album perdana mereka yang bertajuk “Samara”, Syarikat Idola Remaja mengangkat tema bumbu-bumbu khas Indonesia. Mulai dari rempah-rempah Indonesia Timur sampai bumbu yang ada di dapur, Syarikat Idola Remaja mengemas kisah ini ke dalam 6 lagu yang menceritakan sejarah. Diawali dengan kedatangan Belanda dengan kapal-kapal megah dari Eropa, penemuan kepulauan Indonesia, perebutan rempah dan bumbu, persinggahan dan peristirahatan, mengolah bumbu dan rempah jadi masakan, sampai berakhir dengan perayaan kemenangan dan pertukaran budaya. Pembawaan musik mereka juga nggak lepas dari nuansa Melayu, karena melihat sejarah bumbu dan rempah ini dari sudut pandang masyarakat Nusantara yang pada masa itu dijajah oleh peradaban barat. Unik banget kan? Buat tau pasti kayak gimana hasil visi Syarikat Idola Remaja ini, mending langsung aja mampir ke Spotify mereka, Superfriends.